Tidak Aneh Bila Sistem Kontrak Pertambangan Lebih Disenangi PMA (dan PMDN)

By Dr Sony Rospita Simanjuntak (published in Minergynews. Com in 2001)
[Pengamat Hukum Pertambangan Indonesia dan Peneliti di Kantor Konsultan Hukum Arthur Robinson & Hedderwicks, di Melbourne, Australia]
Menjamurnya kontrak pertambangan di Indonesia, khususnya kontrak karya yang jumlahnya ratusan, telah memberikan asumsi yang salah seakan-akan sistem kontrak di sektor pertambangan pertama kali diperkenalkan ke dunia oleh negara Indonesia. Bahkan di dalam negeri ada yang berusaha memberikan suatu legitimasi dengan mendasarkannya kepada Hukum Adat segala, yakni dengan persetujuan ‘paruh’, ‘pertelu’ dan sebangsanya, yang menurut penulis adalah suatu hal yang mengada-ada.

Lain halnya jika dikatakan bahwa praktek sistem kontrak di sektor pertambangan tumbuh dengan sangat suburnya di bumi Indonesia. Yang terkakhir ini dapat dibuktikan dengan cepat dari banyaknya jumlah kontrak pertambangan, terutama oleh yang namanya kontrak karya (tanpa memperhitungkan berapa banyak yang tidur atau dipakai sebagai obyek spekulasi). Pesan yang ingin disampaikan adalah agar Indonesia tidak harus kesenangan bila pihak perusahaan terutama asing memuji-muji kontrak karya karena hal itu adalah lumrah. Di luar negeri, untuk proyek-proyek tertentu, sistem tersebut memang lebih diinginkan daripada sistem perijinan biasa (yaitu yang diatur oleh undang-undang pertambangan).

Di Australia misalnya, kontrak semacam itu disebut sebagai ‘indenture’, ‘franchise agreement’, ‘State Agreement’ atau ‘Government Agreement’ (Crommelin, 1981, McNamara 1982, Warnick, 1988). Penting diketahui bahwa di Australia sistem ini disenangi terutama untuk proyek skala besar yang membutuhkan pembangunan sejumlah infrastruktur. Sistem kontrak tersebut diberlakukan khususnya untuk proyek-proyek yang letaknya di daerah ‘frontier’ dimana sejumlah prasarana phisik harus dibangun seperti listri, air dan jalan. Bahkan mungkin sekali bahwa prasarana sosial lainnya seperti sebuah perotaan, sekolah atau rumah-sakit pun harus dibangun.

Sehingga dari sudut penyediaan lahan, jelas sekali bahwa perusahaan membutuhkan bantuan pemerintah misalnya dengan pemerintah mengeluarkannya sebuah ketentuan khusus yang mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk melepaskan haknya demi usaha pertambangan. Akan mudah dipahami bila perusahaan menuntut jaminan penuh atas hak menambangnya yakni dengan pemeberian sekaligus hak menambang untuk setiap tahapan sejak tahap eksplorasi sampai produksi. Dari sudut permodalan, sistem ini tentunya sangat menjanjikan karena memberikan perasaan lebih aman kepada para pemegang saham dan juga ‘lenders’. Hal yang menjanjikn lainnya adalah jangka waktu menambang. Jika umur proyek memungkinkan, bisa diberikan jangk waktu yang lebih panjang dari yang biasanya ditetapkan oleh hukum pertambangan.

Proyek seperti ini juga menuntut komitmen pihak pemerintah untuk menjamin terciptanya kerjasama yang baik antara pemerinta daerah terdapatnya lokasi pertambangan dengan badan-badan pemerintahan lainnya. Komitmen lainnya adalah pemberian hak khusus atas air bawah tanah dikarenakan pemanfaatan air adalah hal yang tidak bisa dielakkan bagi terlaksananya usaha pertambangan. Dahulu pemerintah di Australia juga bisa menetapkan standar dan prosedur khusus mengenai lingkungan hidup, tetapi sekarang tidak bisa lagi karena undang-undang lingkungan hidupnya melarang. Tetapi permintaan penetapan tarif khusus atas royalti dan pajak masih berlangsung.

Di daerah di mana ‘trespassing’ bukanlah merupakan suatu pelanggran, adalah wajar jika proyek seperti itu menuntut adanya ketetapan khusus mengenai pengamanan phisik lokasi tambang. Proyek seperti ini juga menginginkan penyelesaian Hak Adat (‘native laws’) atas tanah, bahan galian, dan tempat suci yang baik. Sehingga cara yang terbaik atau bahkan yang tercepat adalah dengan menandatangani ‘State Agreement’ dengan pemerintah. Dan jangan heran jika untuk proyek semacam ini, pihak perusahaan pun menginginkan hanya ada satu ‘point of contact’, biasanya adalah departemen yang membawahi sektor pertambangan, yang akan mengkordinir semua pihak terkait dari pelbagai departemen dan badan-bada pemerintahan mewakili pihak pemerintah.

Yang membuat sistem kontrak ini menjadi sedemikian menariknya bagi para ahli hukum di Australia adalah karena kontrak semacam ini membutuhkan ratifikasi parlemen. Hal tersebut terlihat dari nama kontraknya, misal: ‘The Broken Hill Proprietary Company’s Indenture Act’ 1937-1940 (SA). Nah, oleh karenanya, yang bermain di sini tidak hanya hukum kontrak dan hukum administrasi saja tetapi juga hukum tata negara. Tetapi yang paling sering ditonjolkan adalah ratifikasi guna pemberian kekuatan hukum bagi pemerintah sebagai eksekutif untuk mengikatkan diri secara sah dalam sebuah perjanjian.

Hal tersebut terlebih-lebih mengingat sering-seringnya ketentuan dalam perjanjian dibuat menyimpang dari ketentuan umum yang diatur oleh undang-undang (misal: tidak sama dengan yang ditetapkan oleh hukum tata ruang, peraturan sumberdaya air, atau hukum pajak). Karenanya pemberian kekuatan hukum oleh parlemen sebagai pihak legislatif sangatlah penting artinya. Selain itu ratifikasi membawa arti bahwa pemerintah sebagai salah satu pihak dalam berkontrak dapat dituntut di pengadilan apabila terbukti melakukan wanprestasi. Namun yang sangat menarik bagi penulis justru hukum kontrak yang dikaitkan dengan hukum tata negara dalam hal amandemen. Karena sifatnya adalah kontrak maka sebuah amandemen hanya dapat dilakukan apabila kedua belah pihak setuju.

Sebuah amandemen juga memerlukan penguatan hukum oleh legislatif. Namun yang sangat penting adalah pengratifikasian tidak menutup kemungkinan bagi diundangkannya undang-undang baru oleh parlemen. Dengn diberlakukannya undang-undang yang baru, mau tidak mau kontrak harus diamandemen. Peranan hukum tata negara ini sangat kritikal. Sebuah undang-unang paling sediit harus diubah oleh sebuah undang-unang juga. Sehingga di Australia, kunci sukses dari sebuah ‘State Agreement’ adalah apabila isi kontraknya tidak terlalu menyimpang dari yang ditentukan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku umum.

Bagaimana Pengalaman Indonesia selama ini dibandingkan dengan Pengalaman Australia di atas?

Fakta pertama mengatakan bahwa usaha pertambangan di Indonesia adalah ‘foreign control’. Sistem kontrak pertambangan menjamur, karena memang asing tidak boleh memegang titel pertambangan (saat ini namanya: Kuasa Pertambangan). Kedua, kebanyakan lokasi pertambangan terletak di daerah terpencil dan perusahaannya berskala besar serta dituntut untuk membangun infrastruktur. Keduanya merupakan faktor dalam banyaknya jumlah kontrak pertambangan di Indonesia. Sekarang masalahnya adalah apabila hukum pertambangannya diubah dengan memperbolehkan asing memegang titel pertambangan, apakah hal itu akan membuat sistem kontrak tidak menarik lagi?

Jawabannya adalah tidak. Namun, disinilah letak pentingnya peranan Pemerintah. Jika memang proyeknya berskala besar dan lokasi tambangnya di daerah yang terpencil sehingga membutuhkan pembangunan infrastruktur, tidak ada salahnya diberikan dalam bentuk kontrak karya. Prinsip tersebut harusnya diberlakukan secara umum sehingga memberi kemungkinan juga bagi swasta nasional untuk mendapatkan kontrak karya. Tetapi, jika proyeknya tidak pantas untuk diberikan kontrak karya, sebaiknya Pemerintah memberikan titel pertambangan biasa saja (yaitu yang berdasarkan hukum pertambangan).

Dengan demikian, Pemerintah membatasi diri dalam mengikatkan diri langsung kepada pihak swasta dalam bentuk perjanjian di mana posisi Pemerintah turuh menjadi para pihak daripada sebagai penguasa. Pengaruh ketentuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional juga tidak baik bagi Pemerintah. Biaya arbitrase internasional yang sangat mahal tersebut tidak hanya membuat Pemerintah menjadi ekstra hati-hati tetapi sudah lebih merupakan trauma bagi Pemerintah untuk bertindak. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pilihan arbitrase internasional oleh pihak penanam modal asing adalah wajar sebagai akibat ketidakpercayaan atas sistem peradilannya ‘the host country’.

Namun berbeda dengan Australia, selama ini boleh dikatakan bahwa sistem kontrak pertambangan di Indonesia diatur oleh hukum kontrak dan hukum administrasi saja. Prinsip ‘lex specialist’-nya kontrak-kontrak tersebut telah sedemikan digembar-gemborkan walaupun terdapat ketidakjelasan atas persyaratan ratifikasi. Tidak heran apabila setelah adanya BUMN-BUMN di sektor pertambangan seperti Pertamina, Timah, Aneka Tambang dlsbnya, pihak asing masih saja menginginkan Pemerintah sebagai salah satu penanda-tangan kontrak dan kontraknya agar disampaikan kepada DPR. Peranan DPR dalam hal ini juga sesungguhnya sangat membingungkan, apakah sekedar mengetahui atau meratifikasi?

Dari pihak pengusaha asing, jelas mereka membutuhkan tindakan tersebut demi investasinya. Dari pihak Pemerintah, tidak jelas mengapa harus disampaikan ke DPR. Bisa saja karena ketentuan hukum penanaman modal asingnya yang mensyaratkan kerjasama seperti itu harus diberitahukan kepada DPR, tetapi bisa juga karena hukum pertambangannya yang mensyaratkan bahwa pengelolaan bahan galian strategis oleh swasta harus diberitahukan kepada DPR. Dengan demikian, apabila bahan galiannya bukan bahan galian strategis dan pengusahaannya adalah oleh swasta nasional, maka tidak perlulah kontrak itu diberitahukan kepada DPR.

Hal tersebut mungkin tidak menjadikan suatu keberatan bagi pengusaha swasta nasionalnya jika proyeknya bukan skala besar dan yang tidak membutuhkan pembangunan infrastruktur. Tetapi jika suatu ketika kelak ada pengusaha swasta nasional yang sanggup untuk mengusahanak proyek besar dan membutuhkan pembangunan banyak infrastruktur, tentunya dibutuhkan jaminan berupa ratifikasi dari DPR. Masalah ratifikasi ini menjadi lebih runyam lagi karena pada masa ORLA ada Surat Presiden Sukarno (Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960) yang mengatakan bahwa kerjasama luar negeri yang sifatnya komersial tidak perlu diratifikasi oleh DPR.

Memang selama ini terjadi banyak sekali penundaan penandatanganan kontrak karya (terutama dengan asing) karena begitu banyaknya jumlah permohonan sedangkan harus menunggu DPR bersidang. Tetapi apabila Pemerintah mengerti akan keuntungan sebuah ratifikasi dari sudut hukum tata negara, maka ratifikasi adalah sangat kritikal bagi setiap kontrak pertambangan yang ditandatangani langsung oleh Pemerintah.