The Story of Rice and Dewi Sri (Cerita Padi dan Dewi Sri)

Once, Batara Guru, the Lord of Gods, was building himself a new palace in heaven. He sent word to all the gods in heaven that each must bring a big stone for the foundation of the palace. Everyone agreed to obey the command except the Snake God.

 

 

 

 

When the Messenger God came to him, the Snake God was sitting sadly and said: “As you can see, I have neither arms nor legs. How could I carry a stone?” As he spoke, three large teardrops rolled down of his cheeks. When the teardrops feel to the ground, they turned into three white eggs. “Take those eggs to the Lord of Gods and tell him exactly what happened,” the Messenger God told the Snake God.

 

 

 

 

So, the Snake God set off for the royal palace holding the three eggs carefully in his mouth. On his way, he met the Great Eagle. “Where are you going, Snake God?” asked the Great Eagle. However the Snake God’s mouth was so full of eggs that he could not answer. The Great Eagle repeated his question twice more and, getting no answer, became very angry. He started pecking the Snake God on the head. This hurt so much that the Snake God gave two loud cries, and each time he opened his mouth one of the eggs fell out.

 

 

As the eggs hit the ground, they broke open and from one egg came a piglet and from another one came a rat. The two are bad because they damage rice in the rice field and hillside terraces.

 

 

The Snake God was sorry he had lost the two eggs, but by good luck one still remained safe in his mouth. He brought this last egg to the Lord of Gods. As he arrived at the palace, he told everything and kneeled: “Forgive me Lord of Gods, I only can give you this egg.” The Lord of Gods ordered him to keep the egg until it hatched and then to bring him whatever came out of it.

 

 

 

 

From day to day, the egg was taken care by the Snake God. Finally, one day, the egg broke open and out of it came a beautiful baby girl. The Snake God hurried to take the baby to the Lords of Gods, who adopted the baby as his own daughter and named her Dewi Sri. She was brought up as a princess in the royal palace with all of the loving care that a daughter of Lord of Gods should have.

 

 

As the years passed, Dewi Sri grew up to be a lovely young lady. She was gentle and kindhearted as she was beautiful, and everyone who knew her loved her. The Lord of Gods himself showed her so much affection that the other gods began to fear he might want to marry her. The law said that no father could marry his daughter, not even if he was a god and she was only his adopted daughter. The gods feared that if this law was broken, the whole kingdom would be ruined. So they met secretly and decided that Dewi Sri must be killed. This decision filled them with sadness, but they thought this was the only way to save the kingdom.

 

 

 

 

Thus, one day, the gods put poison in a piece of Dewi Sri’s favorite fruit and gave it to her. Straight away after she eated the fruit she fell sick. Day by day she grew weaker and weaker, and finally she died. It was just as though the slender stalk of a young flower had gradually wilted and falled to the ground. Dewi Sri’s body was burried with royal ceremony, just beside a beautiful triple-roofed pagoda, and a royal servant was left to guard the grave and to water it daily so that flowers would grow around it.

 

 

 

Later on, from the grave there appeared a strange kind of plant that no one had ever seen before. This was the heavenly plant now called rice. When the Lord of Gods saw this miracle, he told the royal servant to take the rice seeds down to earth and give them to the king of the land called Pajajaran. “Tell the king,” he said, “that the seeds are a gift from me. Let his people plant them and take good care of them including saving them from the piglets and rats, so that no one need ever go hungry again, for rice is the daily staple.”

 

 

The king of Pajajaran was very happy to receive the Batara Guru’s special gift. His people received seeds and planted them both in paddy fields and on hillside terraces. They learned how to harvest the plants and how to ground them. Then a goddess from heaven came down to earth and taught all the young girls how to cook the rice and serve it in many delicious ways. The people of Pajajaran lived in peace and happiness, never lacked of foods.

Konon kabarnya, Batara Guru, raja dari segala dewa, sedang membangun sebuah istana baru di khayangan. Dia mengirim kabar kepada semua dewa di seluruh khayangan bahwa setiap dewa harus membawa sebuah batu besar untuk dasar istana tersebut. Setiap dewa setuju untuk menuruti perintah tersebut kecuali Dewa Ular atau Dewa Anta.

 

 

Ketika Batara Narada menghampirnya, Dewa Anta sedang duduk bersedih hati dan berkata: “Seperti yang terlihat, hamba tidak mempunyai baik tangan maupun kaki. Bagaimana hamba bisa membawa sebuah batu?” Ketika dia berkata itu, tiga butir air matanya menjatuhi pipi-pipinya. Ketika air mata itu jatuh ke bawah, tiba-tiba butir-butir air mata tersebut berubah menjadi tiga butir telur putih. “Bawalah ketiga butir telur itu ke hadapan Batara Guru dan ceritakanlah kepadanya apa yang sebenarnya terjadi.” perintah Batara Narada kepada Dewa Anta.

 

Jadi, Dewa Anta berangkatlah ke istana khayangan dengan mengulum ketiga butir telur dengan sangat hati-hati di dalam mulutnya. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan sang Burung Garuda Agung. “Anda mau pergi ke mana. Dewa Anta?” tanya sang Burung Garuda Agung. Akan tetapi mulut Dewa Anta penuh dengan telur sehingga dia tidak bisa menjawab. Sang Burung Garuda Agung yang mengulang pertanyaannya sampai dua kali lagi tanpa mendapat jawaban menjadi sangat marah. Dia mulai mematuki kepala Dewa Anta. Hal itu sungguh menyakitkan bagi Dewa Anta sehingga dia berteriak menangis dua kali, dan setiap kali dia membuka mulutnya sebutir telur terjatuh.

 

Ketika kedua butir itu jatuh ke bawah, telur-telur itu pecah dan berubah menjadi babi hutan dan tikus sawah. Keduanya adalah perusak karena merusak padi di sawah dan di ladang.

 

Dewa Anta merasa sangat sedih karena dia telah kehilangan dua butir telur, tetapi dia beruntung karena satu masih aman di dalam mulutnya. Dia membawa telur terakhir ke Batara Guru. Sesampainya di istana khayangan, dia menceritakan semua yang terjadi dan bersujud: “Ampun Batara Guru, hamba hanya dapat mempersembahkan satu butir telur ini.” Batara Guru memerintahkan supaya Dewa Anta memelihara telur itu, sampai menetas nanti dan membawa apa yang keluar nantinya kepada Batara Guru!” Dewa Anta membawa kembali telur yang sebutir itu.

 

 

Dari hari ke hari telur itu dipelihara oleh Dewa Anta. Akhirnya, pada suatu hari, telur itupun menetaslah dan di dalam telur itu terbaring seorang bayi perempuan. Dengan segera, Dewa Anta membawa bayi itu ke Batara Guru yang mengambilnya sebagai putrinya dan diberi nama Dewi Sri. Dia dibesarkan seperti seorang putri di istana dengan kasih sayang layaknya Batara Guru berikan kepada putri kandungnya sendiri.

 

Sesudah beberapa tahun lamanya, Dewi Sri tumbuh menjadi seorang wanita muda yang cantik. Dia sangat lembut dan baik hati sehingga dia sangat anggun dan siapa saja yang mengenalnya pasti mencintainya. Batara Guru sendiri menunjukkan kasih sayang yang dalam terhadapnya sehingga para dewa takut kalau dia akan menikahinya. Hukum berkata bahwa dilarang seorang ayah menikahi putrinya sendiri, walaupun dia adalah seorang dewa dan putri itu adalah anak angkatnya. Para dewa takut bahwa hukum tersebut akan dilanggar dan sebagai akibatnya, kerajaan akan hancur. Jadi mereka secara diam-diam bertemu dan memutuskan bahwa Dewi Sri harus dibunuh. Putusan ini membuat mereka semua sedih tetapi mereka berpikir bahwa hanya inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kerajaan.

 

Oleh karena itulah, pada suatu hari, para dewa membubuhi racun ke sepotong buah kesayangan Dewi Sri dan memberikan buatt itu kepadanya. Segera setelah dia memakan buah itu, dia jatuh sakit. Makin hari dia makin lemah dan akhirnya meninggal. Hidupnya seperti setangkai bunga indah yang menjadi layu dan akhirnya gugur. Mayat Dewi Sri dikubur dengan upacara kerajaan di samping sebuah pagoda beratapkan tiga lapis dan seorang pembantu kerajaan menjaga kuburannya dan menyiraminya sehingga bunga-bunga kan tumbuh di sekeliling kuburan.

 

Kemudian, dari kuburan tersebut tumbuh sebuah tanaman yang aneh yang belum pernah terlihat sebelumnya. Tumbuhan khayangan ini sekarang disebut tanaman padi. Melihat peristiwa yang ajaib itu, Batara Guru memerintahkan pembantu kerajaan untuk membawa biji padi turun ke bumi dan memberikannya kepada raja di bumi yang bernama Pajajaran. “Katakan kepada raja,’ katanya, “bahwa biji-biji itu adalah hadiah dari saya. Supaya rakyatnya menanamnya dan memeliharanya termasuk dari serangan babi hutan dan tikus sawah sehingga tak seorang pun yang akan kelaparan lagi, sebab beras adalah makanan sehari-hari.”

 

Sang Raja Pajajaran sangat bahagia menerima hadiah istimewa the God of gods. Rakyatnya menerima biji-biji padi dan menanam biji-biji tersebut baik di sawah maupun di ladang. Mereka belajar bagaimana memanen padi dan menggilingnya. Kemudian seorang dewi turun dari khayangan ke bumi untuk mengajarkan semua gadis muda bagaimana caranya memasak beras dan menghidangkannya dengan banyak cara yang sedap. Penduduk Pajajaran hidup dengan damai dan bahagia, tidak pernah kekurangan makanan.

[Adapted from many versions available on Internet]