Menyoroti Power Presiden sehubungan dengan Penanaman Modal Asing

Oleh: Dr Sony Rospita Simanjuntak
Pengamat Hukum Pertambangan Indonesia & Peneliti pada Konsultan Hukum Allens Arthur Robinson, Melbourne, Australia

Walaupun telah berulangkali pemerintah pusat berusaha meyakinkan daerah bahwa penerbitan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004 baru-baru ini adalah semata-mata berupa pemberian sebuah power kepada Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menjalankan sistim pelayanan satu atap, bukan penarikan kembali power yang telah didesentralisasikan ke pemerintahan daerah (khususnya pemerintahan kabupaten dan kota), sepertinya kecurigaan daerah terhadap pusat masih terus saja ada. Sifat curiga atau saling curiga seperti itu sebenarnya adalah sangat normal bahkan sifat seperti itu bila perlu agar tetap dibina sebagai salah satu metoda pengawasan, tentunya selama hal itu dilakukan secara wajar.
Intisari dari argumentasi yang terdengar adalah jika memang bukan berupa penarikan kembali otoritas daerah sedangkan pelimpahan wewenang oleh daerah ke BKPM adalah sukarela sifatnya, lantas dimanakah letak tujuan daripada peraturan baru tersebut?
Akan halnya dengan pelayanan ‘one stop service’ atau ‘one roof service’ itu sendiri, agaknya semua pihak tidak butuh untuk diingatkan kembali akan essensinya yang tidak lain adalah untuk menarik penanaman modal asing dengan cara memotong proses birokrasi dengan harapan penghematan biaya dan waktu selain pemberian suatu kepastian. Di dalam tubuh BKPM itu sendiri sesungguhnya sudah lama pemerintah mengusahakan agar BKPM di dalam pemberian pelayanannya beraspirasikan ‘one stop service’, yaitu dengan pemberian perizinan basic lain yang dibutuhkan ketika dikabulkannya sebuah permohonan penanaman modal. Hal tersebut dimungkinkan oleh penganutan sistim pendelegasian. Demikian juga pada waktu yang lalu, sesungguhnya Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) adalah juga mengacu kepada sistim pendelegasian. Termasuk di dalamnya pendelegasian kepada Kepala Pemerintah Otorita.
Lantas, apakah tujuan dari, terutama, Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tersebut? Jika selama ini telah dilakukan pendelegasian-pendelegasian, mengapa diperlukan penerbitan keppres tersebut? Apakah hal itu justru sangat relevan sehubungan dengan hukum otonomi daerah?
Adalah pada tempatnya untuk pertama-tama sekali mengulang kembali falsafah tentang kebutuhan akan badan yang sekarang ini diberi nama BKPM. Walaupun Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967 tidak mengaturnya secara rinci, kebutuhan akan badan seperti ini terlihat ketika Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang pertama, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1958.
Menurut sejarahnya, badan tersebut merupakan lembaga yang membantu pemerintah. Lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung-jawab kepada pimpinan pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan sistim ketatanegaraan Indonesia, Presiden mempertanggung-jawabkan keputusan-keputusan yang diambil oleh badan tersebut kepada DPR.
Walaupun tidak terlihat jelas hukum perundang-undangan yang dirujuknya, namun dapatlah dimengerti bahwa power atas penanaman modal asing diletakkan kepada Presiden, yang dalam pelaksanaan sehari-harinya Presiden dibantu oleh BKPM. Namun, relevansinya terlihat menjadi agak kabur ketika bukan saja permohonan penanaman modal asing yang dikelolanya tetapi juga permohonan penanaman modal dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan kerancuan di dalam pemakaian terminologi penanaman modal dalam negeri bagi penanaman modal yang masih ada asingnya tetapi minoritas disamping semakin relax-nya Hukum Penanaman Modal Asing Indonesia. Sehingga upaya Pemerintah untuk sesegera mungkin mengeluarkan undang-undang investasi yang baru demikian juga mengeluarkan DNI yang baru dimana modal investasi minimum yang butuh approval dari BKPM ditetapkan (sehingga kalau memang tidak dibutuhkan BKPM tidak perlu memproses persetujuan investasinya), sudah sesuai atau on the right track.
Tadi dikatakan bahwa power di bidang penanaman modal asing terletak pada Presiden, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh BKPM. Di dalam prakteknya pada masa yang lalu, tidaklah semua permohonan harus disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Presiden juga telah melakukan pendelegasian kepada Ketua BKPM. Namun persetujuan yang diberikan oleh Ketua BKPM adalah tetap atas nama Presiden.
Di masa lalu, semangat pendelegasian ini mendapatkan penekanan yang lebih lagi demi terciptanya slogan ‘one stop service’. Menteri-menteri terkait lain, yang pada dasarnya adalah juga pembantu-pembantu Presiden, mendelegasikan kewenangannya kepada Ketua BKPM sehubungan dengan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Misal, Menteri Keuangan memberikan delegasi kepada Ketua BKPM untuk memberikan keringanan/kelonggaran bidang perpajakan. Demikian juga sebelum berlakunya hukum otonomi daerah, menteri yang menangani bidang perindustrian, menteri yang bertanggung-jawab di bidang pertambangan dan energi dan menteri yang membidangi pertanian dan kehutanan serta menteri yang bertanggung-jawab atas bidang kesehatan, pada dasarnya mendelegasikan kewenangan pemberian izin usaha industri kepada Ketua BKPM. Pengecualian terdapat atas sektor pertambangan umum dan kehutanan dimana tata-cara penanaman modalnya masih diatur oleh departemen teknis masing-masing.
Pada waktu itu prisip yang dianut adalah bahwa Ketua BKPM dalam menyelesaikan sebuah perizinan industri harus melakukannya atas nama menteri yang bersangkutan. Adapun mengenai pengawasan teknisnya, semuanya adalah masih merupakan kewenangan menteri bidang masing-masing, yang dapat pula pelaksanaannya dikordinasikan bersama dengan BKPM dan BKPMD.
Dengan demikian, sebelum diberlakukannya hukum otonomi daerah, departemen-departemen juga pada dasarnya sudah tidak melayani pemberian izin usaha industri apabila pemohonnya adalah PMA/PMDN. Yang dilayani adalah pemohon yang bukan PMA/PMDN. Seperti yang disebutkan di atas, pengecualian terdapat di sektor pertambangan umum dan kehutanan, dimana pada waktu itu, seorang calon kontraktor PMA/PMDN di bidang pertambangan umum, misalnya, selain berurusan dengan BKPM juga berurusan dengan departemen yang membawahi sektor pertambangan umum. Praktek inilah yang telah mendapat banyak kritikan karena tidak konsekuen dengan azas ‘one stop service’ yang didengung-dengungkan BKPM.
Sekarang dengan diberlakukannya hukum otonomi daerah dimana terdapat banyak sekali desentralisasi, sudah tentu departemen teknisnya juga harus mengacu kepada hukum otonomi daerah. Sehingga penerbitan dua keppres tersebut di atas sesungguhnya sejiwa dengan hukum otonomi daerah. Apabila departemen teknisnya adalah merupakan unsur daerah, maka otomatis rekomendasi dari daerah tersebutlah yang dibutuhkan oleh Presiden dalam menolak atau mengabulkan sebuah permohonan izin penanaman modal asing. Yang jelas, jika ingin lebih efektif maka sektor pertambangan umum dan kehutanan tidak perlu lagi mendapat pengecualian, karena praktek seperti itu telah banyak dikritik sehubungan dengan birokrasi dan red-tape.
Konsekuensi dari Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 di bidang pertambangan umum, misalnya, adalah bahwa BKPM dalam memproses persetujuan penanaman modal asing (berdasarkan rekomendasi departemen teknis/daerah terkait) bisa saja sekaligus memproses pemberian kontrak karyanya berdasarkan pelimpahan wewenang dari departemen teknis atau yang sesuai berdasarkan hukum otonomi daerah.
Walaupun bentuk negaranya berbeda, pelayanan badan penanaman modal asing yang terpusat seperti itu terdapat di Australia oleh lembaga yang disebut Foreign Investment Review Board (FIRB). Seperti diketahui, negara Australia adalah negara federasi, dimana berdasarkan Pasal 51(xx) Konstitusi Australia, pemerintah federal diberi power untuk mengatur urusan-urusan sehubungan dengan foreign takeovers dan foreign investment. Sehingga permohonan penanaman modal asing di Australia harus disampaikan kepada FIRB yang berada di Canberra. FIRB adalah lembaga advisory pada Treasurer. Dengan demikian, walaupun negaranya adalah federasi dimana masing-masing negara bagian mempunyai otonomi, namun hal itu tidak membuat tidak dapat dilakukannya pemusatan pelayanan penanaman modal asing di Canberra. Sebagai contoh, apabila sebuah perusahaan asing ingin menambang di negara bagian Victoria, maka perusahaan tersebut, sejauh mengenai persetujuan/izin penanaman modal asingnya, harus berhubungan dengan FIRB di Canberra. FIRB dalam proses pemberian approval akan terlebih dahulu meminta rekomendasi dari Departemen Pertambangan negara bagian Victoria.
Selanjutnya, pengawasan penanaman modal asing itupun dilakukan oleh FIRB yang bekerja atas nama Treasurer. Seluruh perusahaan penanam modal asing berkewajiban untuk menyampaikan laporan secara periodik ke FIRB di Canberra. FIRB secara terus-menerus dan aktif melakukan monitoring hingga tercapainya pengalihan saham mayoritas penamam modal asing kepada perusahaan lokal. Perbedaannya adalah bahwa FIRB hanya berfokuskan kepada pemberian persetujuan/izin penanaman modal asing yang merupakan wewenang pemerintah federal. Akan halnya lisensi pertambangannya sendiri, sebagai misal, adalah didapatkan langsung dari pemerintah negara bagian yang bersangkutan, demikian juga dengan kontrak karyanya.
Sebagaimana diketahui Indonesia adalah negara kesatuan. Penyerahan urusan pemerintah ke daerah oleh pusat sehubungan dengan hukum otonomi daerah adalah masih dalam azas pendelegasian. Dengan demikian, semangat ‘one roof service’ kiranya tidak menjadi sebuah batu sandungan dari sudut hukum konstitusi, walaupun mungkin pelayanan seperti itu bisa saja di-challenge oleh daerah dalam waktu yang cepat karena tingginya semangat kompetisi dengan daerah lainnya.
Yang menjadi pertanyaan, jika memang mau dipertanyakan, adalah apakah BKPM yang adalah lembaga non departemen secara hukum dapat dibenarkan dalam penjatuhan sanksi atas kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan oleh penanam modal asing sehubungan dengan izin/persetujuan penanaman modalnya? Karena apabila dibandingkan dengan Australia, FIRB adalah badan penasehat Treasurer. Approval diberikan oleh Treasurer dan keseluruhannya adalah merupakan tanggung-jawab Treasurer.
Selain itu kelihatannya kurang disorot akan pentingnya power untuk pemberian izin/persetujuan penanaman modal asing (bukan izin usaha industri/investasinya) tetap ada di tangan Presiden, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehubungan dengan pemberian kepastian/jaminan hukum. Sebagaimana diketahui, salah satu pasal terpenting dari Hukum Penanaman Modal Asing Indonesia adalah pemberian jaminan untuk tidak menasionalisasikan perusahaan PMA dan apabila hal itupun terpaksa untuk dilakukan, maka tidaklah gampang untuk melakukannya. Hal tersebut semata-mata hanya dapat dilakukan demi KEPENTINGAN NEGARA dengan syarat bahwa keadaan tersebut harus pula terlebih dahulu diundangkan (harus ada Undang-Undangnya). Dan jika memang demikianlah halnya maka Pemerintah Republik Indonesia harus membayar kompensasi berdasarkan Hukum Internasional, yang berarti bahwa Pemerintah Republik Indonesia akan duduk dalam perkara tersebut sebagai salah satu pihak.